02 September, 2009

Djakarta tempo doeloe

Isola dalam kenanganku

Rahasia Villa Isola – Crime scene investigation Bandung 1934
“M’ISOLO E VIVO” (Saya mengasingkan diri dan bertahan hidup) adalah jalan hidup konglomerat berita di masa lalu yang eksentrik, yang bernama Dominique Willem Berretty. Jalan hidup ini dia wujudkan dalam pembangunan tempat tinggal pribadinya di Bandung yang diberi nama “VILLA ISOLA” (villa terpencil). Bangunan cantik bergaya art deco ini didesain oleh arsitek ternama C.P. Wolff Schoemaker. Pada masanya desain tersebut betul-betul merupakan puncak dari modernitas. Gedung ini dibangun dalam waktu yang cukup cepat, yaitu Oktober 1932 hingga Maret 1933, dengan bantuan biro arsitektur AIA di Batavia. Kerangka bangunan dan jendela-jendela di gedung ini terbuat dari baja, sedangkan lantainya beton cor. Bangunan ini sekarang terletak di Jalan Setiabudi 229 Bandung, di tepi jalan raya menuju daerah Lembang, tempat perkebunan yang lebih tinggi dari kota Bandung. Jika kita kembali ke masa awal tahun 30an itu, villa ini anggun berdiri di antara Bandung dan Lembang.  


Dominique Willem Berretty (1890-1934)


Dominique Willem Berretty berdarah campur Jawa dan Italia, lahir di Hindia Belanda pada tanggal 20 November 1890. Berretty muda adalah orang yang ambisius dan sempat bekerja di surat kabar Java Bode. Dalam keadaan tidak mempunyai uang, dia memulai usaha jasa telegraf pada tahun 1917 dengan menggunakan uang pinjaman. Karirnya mulai tampak menanjak saat dia mendirikan agen press ANETA (Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap) di Batavia. Agen berita ini memonopoli pengadaan berita tentang Hindia Belanda, dan itu membuat dia menjadi kaya dan menjadi selebriti saat itu. Banyak jurnalis dan politisi tidak senang hati dengan monopoli yang dilakukannya, termasuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda B.C. de Jonge. Pada awal tahun 1930an bekerjanya kantor Aneta terkena kritik berat.

Di awal tahun 30an seluruh dunia mengalami krisis ekonomi global. Namun Berretty justru membangun villa yang cukup mahal ini pada saat itu. Melihat keadaan keuangan Berretty, kemungkinan uang yang dipakai mendirikan Villa ini berasal dari hasil korupsi. Pada awal 30an itu juga, Jepang sedang giat membangun kekuatan dan mulai menunjukkan kecenderungan untuk melakukan penjajahan. Monopoli yang dilakukan Berretty dalam hubungan telegraf dan cara komunikasi lain antara Jawa dan Jepang membuat dia menjadi mata rantai yang penting bagi dinas rahasia Jepang. Uang yang dikumpulkan dari kegiatan spionase ini memungkinkan dia mengeluarkan uang 500.000 gulden (harganya sekarang sekitar 250 M rupiah) untuk membangun Villa Isola.

Kehidupan pribadinya tidak kalah menariknya untuk disoroti. Dia pernah menikah 6 kali dan membuat 2 orang wanita menjadi hamil dan melahirkan 3 anak, sebelum pada tahun 1934 menjalin asmara dengan salah seorang putri Gubernur Jenderal de Jonge. Sang Gubernur Jenderal tidak bisa menerima kehadiran orang yang dianggapnya berbahaya itu, sehingga kemudian memutuskan untuk menghabisinya.

Seorang kawan lama yang sekarang berusia 90 tahun dan tinggal di Surabaya masih bisa menceritakan dengan jelas bahwa di awal tahun 30an banyak gosip beredar tentang Berretty dan anak gadis Gubernur Jenderal ini. Ada kemungkinan sang putri berencana mengundang Berretty ke perjamuan makan malam di Hari Natal 1934, dan sang Gubernur Jenderal tidak menghendakinya. Kematian Berretty pada tanggal 20 Desember seperti bukan suatu kebetulan….



Gubernur Jenderal Jonkheer Bonifacius Cornelis de Jonge (1875-1958)


De Jonge adalah seorang aristokrat yang konservatif yang menduduki beberapa jabatan penting baik di pemerintahan Belanda (urusan perdagangan dan industri) maupun Inggris. Sejak 1931 – 1936, dia menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Salah satu kalimat terkenalnya adalah: Kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada di sini selama 300 tahun lagi!" De Jonge mempunyai 2 anak laki dan 3 perempuan, dan salah satu anak perempuannya ini menjalin cinta dengan Dominique Berretty. Dan karena dia menganggap Berretty berbahaya bagi kehidupan pribadi dan politiknya, dia memutuskan untuk mengakhiri hidup Berretty.

Dikarenakan jabatan-jabatan yang pernah didudukinya, seperti Menteri Perang Belanda (1917) dan General Manager di satu perusahaan minyak di London (1921), de Jonge mempunyai beberapa kontak dengan petinggi militer Inggris yang kelak akan dia gunakan untuk menjalankan misinya.



Pesawat terbang DC 2 “Uiver” (“Burung bangau”)


Setelah berhasil dalam Perlombaan Udara London-Melborne pada bulan Oktober 1934, pesawat Uiver milik KLM menjadi simbol nasional Belanda yang terkenal dan awak pesawatnya menjadi pahlawan. Setelah perlombaan tersebut, Uiver menjadi penerbangan reguler yang menjalani rute Amsterdam – Batavia. Pada bulan Desember 1934, sebuah penerbangan reguler terbang dari Amsterdam menuju Batavia dengan 4 orang awak pesawat, kargo berupa 350 kg surat dan 3 penumpang yang salah satu di antaranya adalah Berretty yang akan pulang ke Indonesia setelah melakukan perjalanan bisnis. Pesawat ini tidak pernah sampai di Batavia, karena jatuh di Siria dekat perbatasan Irak pada tanggal 20 Desember.



Puing-puing pesawat Uiver di Siria 20 desember 1934


Penyebab kecelakaan menurut versi resmi komisi penyelidikan yang dibentuk pemerintah Belanda adalah sebagai berikut: “ Para ahli menyimpulkan bahwa mesin pesawat terkena terjangan kilat yang hebat yang langsung menewaskan para penumpang serta awak pesawat yang ada di dalamnya, dan pesawat masih terus terbang hingga terbanting di tanah, terguling dan kemudian terbakar.” Banyak pakar penerbangan yang menganggap keterangan tersebut mengada-ada. Keterangan dari komisi penyelidikan dianggap menutup-nutupi keadaan sebenarnya dan banyak misteri yang belum terpecahkan. Bisa kita simpulkan bahwa masih ada beberapa hal yang tidak jelas terjadi di sini. Beberapa saksi mata melaporkan melihat pesawat tempur militer pada jam 00.45 di dekat kilang minyak Rutba di Irak. Uiver tidak pernah sampai di Irak karena jatuh di Siria. Diketahui bahwa di kilang minyak Rutba ada basis militer Inggris. Di sinilah rencana itu tampak. Uiver yang membawa Berretty ditembak oleh pesawat tempur RAF. Pemerintah telah mengorbankan pesawat yang bersejarah itu dan 6 orang manusia yang ada di dalamnya untuk membunuh 1 penumpang yang dianggap berbahaya, Dominique Willem Berretty.

Misi resmi penerbangan Uiver saat itu adalah membawa surat dari Eropa ke Jawa sebelum Hari Natal 1934. Namun karena pesawat itu dijadwalkan akan datang di Batavia pada tanggal 22 Desember (1 hari sebelum akhir pekan), dan karena pada tahun 1930an tidak ada kereta pos yang bekerja pada akhir pekan, kita bisa mengambil kesimpulan itu adalah misi yang tidak mungkin. Atau mungkin boleh kita sebut misi yang palsu. Ini adalah satu dari sekian banyak hal yang misterius sehubungan dengan kejatuhan pesawat Uiver tersebut. Berretti dimakamkan di kuburan Inggris di Bagdad, Irak pada tanggal 23 desember 1934. 
Villa Isola menjadi Bumi Siliwangi
Setelah kematian Berretty, Villa Isola menjadi milik Hotel Savoy Homann. Pada masa pendudukan Jepang, tempat ini menjadi markas tentara kerajaan… nasib buruk bagi bangunan yang dibangun pada tahun 1933 oleh uang dari Jepang sendiri.

Setelah kemerdekaan Indonesia., Villa ini direnovasi dan diberi nama Bumi Siliwangi. Di bagian paling atas kemudian dibangun satu lantai lagi. Pada tanggal 20 Oktober 1954, Mr. Ali Sostroamidjojo, Perdana Menteri saat itu, mempersembahkan gedung sebagai markas besar UPI dan Prof Moh. Yamin, Menteri Pendidikan saat itu, menanam pohon beringin di dekat kolam renang pada peresmian selesainya renovasi bangunan ini. Sayangnya sekarang kita sulit menemukan kecantikan arsitektur bangunan ini. Villa ini sudah beralih fungsi dari rumah tinggal menjadi kantor rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Taman bunga, sawah dan kolam kecil berisi 5 ekor angsa hitam sekarang sudah tidak ada lagi. Daerah sekelilingnya sekarang sudah dipenuhi dengan ruang kelas, mahasiswa yang lalu lalang, tempat tinggal dan jalan raya yang ramai.


Arsitek Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker (1882-1949)


Dilahirkan di Banyu Biru (dekat Ambarawa, Jawa Tengah) pada tahun 1882, Schoemaker dikenal sebagai Bapak gaya arsitektur Art-Deco di Bandung. Dia dikenal mahir menyelaraskan arsitektur Eropa modern dengan lingkungan tropis. Keahliannya memadkan elemen dekoratif kuno dan arsitektur modern menjadikan dia arsitek Indonesia terbaik pada jamannya. Kelak di kemudian hari dia menjadi profesor di Institut Teknologi Bandung. Di antara murid-muridnya, adalah Ir. Soekarno yang menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Beliau meninggal pada tahun 1949 di kota Bandung yang dicintainya, dan dimakamkan di Pemakaman Pandu. Berikut ini beberapa hasil karya terkenal dari C.P. Wolff Schoemaker di Bandung:

1918, Villa Merah, Jalan Tamansari 78
1918, Gedung Sabau, Jl. Kalimantan
1920, KOLOGDAM (Jaarbeurs), Jl. Aceh 50
1921, Gedung Merdeka (Concordia), Jl. Asia Afrika 65
1922, Landmark (Van Dorp), Jl. Braga
1922, Gereja St. Petrus, Jl. Merdeka
1925, Bioskop Majestic, Jl. Braga
1925, Centre Point (Ruko), Jl. Braga 117
1925, Gereja Bethel, Jl. Wastukencana 1
1925, Observatorium Bosscha, Lembang
1929, Hotel Preanger, Jl. Asia Afrika 81
1933, Rektorat UPI (Villa Isola)
1933, Mesjid Cipaganti, Jl. Cipaganti 85
1934, Gedung PLN (Gebeo), Jl. Asia Afrika 63
1935, Penjara Sukamiskin, Jl. Ujung Berung

IsraHell : "Berjaya diatas penderitaan Palestina"

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...